MASGUN

Ramadan #7


  • Beberapa waktu lalu aku menghadiri sebuah kedukaan. Hujan gerimis menemani proses para tamu silih berganti datang ke rumah duka. Ada banyak sekali orang yang menunggu hingga ke jenazah dimakamkan. Mereka duduk di teras-teras, di kursi-kursi yang disediakan, sembari menghindari gerimis.

    Hingga tiba waktu shalat jenazah, ada momen yang membuatku memikirkan tentang hidupku sendiri. Saat aku merapakatkan diri ke barisan shalat, jumlahnya sedikit. Sedikit sekali dibandingkan dengan tamu yang hadir. Sedikit sekali hadirin yang tergerak untuk ikut men-shalatkan. Meski memang hukumnya fardhu kifayah. Aku teringat pada hal ini :


    مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ

    “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, dan disalatkan oleh lebih dari empat puluh orang, dalam kondisi mereka tidak menyekutukan Allah sedikitpun, niscaya Allah akan mengabulkan syafaat (doa) mereka untuknya.” (HR. Muslim no. 948)

    Juga :

    مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ

    “Jenazah yang disalatkan oleh kaum muslimin dengan jumlah melebihi seratus orang, dan semuanya mendoakannya, maka doa mereka untuknya akan dikabulkan.” (HR. Muslim no. 947)


    Kayak rasanya sedih ketika di hari kita meninggal, ternyata sedikit orang yang tergerak hatinya untuk ikut menyalati jenazah kita. Memang sebaik-baiknya pengingat adalah kematian.

  • Ramadan #6


  • Saat diri kita tersesat terlalu jauh, memang tidak mudah untuk kembali ke titik awal. Seolah kita telah melewati jalan yang berliku dan harus kembali mengalami likunya hingga kita tiba di titik persimpangan dulu. Persimpangan yang pernah kita pilih dan ternyata apa yang kita pilih ternyata tidak sesuai dengan apa yang akan kita tuju.

    Tidak mengapa. Jika memang itu jalan yang perlu ditempuh, alih-alih kita membiarkan diri terus tersesat atau justru diam ditempat. Tidak mengapa, jika kita perlu meniti lagi jejak-jejak kita kemarin. Akan ada banyak sekali pelajaran berharga di sana, pelajaran yang sangat menjadikan diri kita sebagai orang yang lebih baik.

    Memang tidak seketika membuat kita sampai ke tujuan, tapi pelajaran hidup yang seberharga ini, mungkin takkan pernah kita dapatkan tanpa kita tersesat sebelumnya.

    Pada akhirnya kita menyadari bahwa tidak ada yang sia-sia dalam hidup ini, selama kita berhasil menempatkan sudut pandang yang tepat di setiap kejadiannya.

  • Ramadan #5


  • Dunia ini terlalu fana untuk digenggam. Sesuatu yang mungkin sedang kita upayakan saat ini, kejar siang dan malam, bekerja seolah 24 jam, mengumpulkan uang di tabungan, dan berpikir semua itu akan menyelamatkan masa depan. Semuanya bisa tiba-tiba hancur dan hilang jika dunia ini juga hilang. Semuanya akan menjadi warisan jika kita tiba-tiba bertemu kematian.

    Aku pun merasa pernah demikian, mengejar dunia hingga mengabaikan kesehatan, menghilangkan waktu untuk bisa bersama keluarga, meniadakan kesempatan untuk membangun spiritualitas yang kuat dengan beragam kajian dan ilmu pengetahuan. Semuanya menyisakan kehampaan, kekosongan, dan kegelisahan.

    Hidup terlalu berpikir dengan orientasi uang. Hidup memang memerlukan uang, tapi membuat hidup ini beriorientasi pada uang adalah kesalahan. Rezeki tidak semata tentang itu. Hidup ini juga benar-benar sangat sementara, semua yang sedang kita kumpulkan tidak ada yang abadi kecuali amalan.

    Belajar untuk mulai menanamkan pemahaman ini tidak mudah. Kekhawatiran atas rezeki selalu berkelindan. Mempertanyakan apakah hidup akan begini-begini saja?
    Tentu saja tidak!

    Melepaskan diri dari ikatan dunia ini adalah perjalanan spiritual yang telah lama aku cari. Sehingga aku bisa melihat dunia sebagai sesuatu yang ringan saja, jika ada masalah, ringan saja, jika ada tantangan, ringan aja, jika ada kehilangan, ringan saja. Semuanya sementara.

  • Ramadan #4


  • Pada umur tertentu, pernah aku dihadapkan pada krisis mencari jati diri. Pertanyaan-pertanyaan yang menggeliat di kepala tentang masa depan yang penuh kekhawatiran. Tidak tahu akan ke mana, menjadi apa, dan segala keresahan lainnya.

    Masa itu kemudian terlewati. Ternyata apa yang dulu kukhawatirkan, tidak semuanya terjadi. Tidak semuanya menakutkan. Meski memang tidak semuanya berhasil sesuai rencana, tapi kini aku telah melewati masa krisis itu. Bahkan kalau aku boleh menilai diriku sendiri, aku merasa telah melaluinya dengan sangat baik.

    Kini setelah menjalani semua itu, muncul lagi hal-hal baru yang tak kuduga. Selepas banyak sekali diskusi dengan orang lain yang merasa stuck dan jenuh dengan pekerjaan yang monoton, rutinitas yang begitu-begitu saja, tidak ada perkembangan yang signifikan dalam kehidupan personal, pertemanan yang mengecil bahkan hanya seputar teman kerja aja. Rasanya, momen saat krisis dulu, di usia beberapa tahun yang lalu, jauh lebih menggairahkan dalam menjalani hidup dibandung kehidupan yang terlalu monoton seperti sekarang. Dulu yang penuh keberanian, mencoba berbagai macam hal, bertemu dengan banyak sekali orang. Belajar tanpa takut salah. Dan banyak keseruan hidup yang kini telah mengering tak bersisa.

    Sayangnya, keputusan untuk hidup seperti ini sebagian besar adalah keputusan permanen. Saat memilih pekerjaan yang memberikan rutinitas harian, membelenggu keberanian kita dengan uangnya, dan akhirnya merasa tidak ada jalan keluar.

    Sampai muncul pertanyaan: Apakah ini cukup?

    Yang kemudian hati kecilku menimpali : Kenapa bisa ini tidak cukup?

    Apa yang telah kita lewati dan miliki saat ini, mengapa belum juga membuat kita cukup?

    Cukup apa?

    Cukup bahagia.

  • Ramadan #3


  • Kebutuhan kita saat dewasa sebeda itu dengan saat kita masih remaja tanggung. Dulu mungkin berpikir bahwa cinta itu cukup dengan label paling populer di sekolah, ketua OSIS, perhatian, dan lain sebagainya yang melekat sebagai label yang disepakati oleh lingkungan. Kini, kebutuhan akan cinta itu sangat berbeda.

    Karena kita akan membawa dimensi cinta sebagai bagian dari ibadah panjang yang akan kita jalani seumur hidup. Memilih labuhan yang tepat untuk menambatkan komitmen yang panjang sebelum berlayar bersama.

    Kemudahan-kemudahan dalam menjalani ibadah panjang ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan saat memilih pasangan. Agar dari kemudahan itu, melahirkan banyak sekali kebaikan yang menumbuhkan ketenangan dalam hidup. Rasa tenang yang kemudian menciptakan kepribadian yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

    Maka, jika kita mendengarkan nasihat orang lain untuk hati-hati memilih pasangan. Pilih sebaik-sebaiknya, karena satu-satunya keluarga yang bisa kita pilih untuk masuk ke dalam kehidupan kita adalah pasangan. Kita tidak bisa memilih anak, tidak juga bisa memilih orang tua. Pasangan adalah satu-satunya yang bisa kamu pilih. Maka pilihlah yang benar-benar bisa memudahkan ibadah-ibadah nantinya.


    image
  • Ramadan #2

  • Ada momen dalam hidup di usia 30-an ini aku mempertanyakan kenapa aku tidak seperti dulu, aku yang semangat, aku yang tidak suka menunda, aku yang energinya banyak untuk bertemu orang lain, aku yang penuh ide dan keberanian, dan aku lainnya yang membuatku sekarang bertanya-tanya, apa yang telah mengubahku sehingga aku tak seperti dulu?

    Perasaan rindu pada versi diri yang sebelumnya ini menjadi hal yang mungkin akan kamu temui juga, saat pekerjaan telah menenggelamkan dirimu dalam rutinitas, saat uang telah mematri ketakutanmu untuk mencoba hal-hal lainnya karena kalau gagal - mungkin kamu akan kehilangan uang yang secara rutin telah kamu dapatkan, atau hal-hal lainnya yang membuat diri terasa semakin jauh. Alih-alih bertumbuh, kini justru semakin tersesat.

    Tarik diri dari keriuhan. Luangkan waktu untuk melihat lagi ke dalam diri, berkatalah secara jujur bahwa dirimu yang sekarang memang sebeda itu. Apa yang sebenarnya kamu inginkan dan harapkan. Apakah kamu masih di jalanmu atau sebenarnya udah melencenga jauh dari tujuan.

    Memang tidak mudah untuk sejujur itu sama diri sendiri, sebab barangkali kita akan mendapati hal-hal yang membuat kita kecewa ternyata disebabkan oleh diri sendiri yang tidak berani, tidak tegas, tidak berpendirian, tidak cukup kuat memegang komitmen sama mimpi, dan hal-hal lain yang membuat kita ingin menyalahkan diri sendiri.

    Memang tidak mudah. Tapi paling tidak, kalau kita ingin memperbaiki hal yang telah terlampu jauh dari tujuan, kita masih memiliki kesempatan untuk menariknya kembali. Membuat diri kembali percaya bahwa hidup ini sudah seharusnya diperjuangkan, oleh diri kita sendiri.

    Siapalagi kalau bukan dirimu sendiri?

  • Ramadan #1


  • Ukuran kita terhadap dunia ini bisa jadi macam-macam. Bisa jadi saat ini, cara kita mengukur dunia ini berdasar dengan uang. Uang yang dirasa menjadi pokok dari hal yang perlu dikejar karena merasa semua pintu akan terbuka dengan uang.

    Bisa juga kita sedang mengukur dunia ini dengan kepemilikan. Merasa diri memiliki keberhargaan dengan memiliki hal-hal yang mungkin hanya bisa dimiliki oleh segelintir orang.

    Bisa jadi juga kita sedang mengukur dunia ini dengan kepuasan hati. Perasaan puas yang bisa diartikan dengan berbagai macam parameter, saat kita berhasil mencapai fase tertentu seperti pernikahan dan memiliki keturunan. Atau memiliki pekerjaan yang memberikan kita fasilitas yang terbaik. Atau hal-hal lain yang membuat diri merasa puas.

    Atau ada juga yang mengukur dunia ini dengan akhiratnya. Saat-saat dia menyadari bahwa jika di dunia ini akhirat yang menjadi tujuan, Allah yang akan mengurus dunianya. Semua urusan dunianya diukur dari keridhaan Allah yang menciptakannya.

    Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

    مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.

    Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.”

    * * * *
    Mohon doanya, semoga suatu saat penulis bisa sampai di level keimanan tsb. Kita semua pun mudah-mudahan bisa memiliki cara pandang itu. Dunia takkan lagi membuat kita gelisah, takkan lagi membuat kita takut. Bahkan sampai dititik, kita tak takut meninggalkan dunia ini.

  • Bisikan

  • Dalam perjalanan riset buat menulis sebuah naskah di tahun 2020 lalu, ada beberapa statement yang sama - terjadi di beberapa orang sekaligus. Yaitu ia kayak mendengar bisikan di dalam kepalanya kalau ada orang yang tidak suka dengannya, ada orang yang membicarakannya di belakang. Padahal tidak ada.

    Merasa diri tidak perlu dikasihani, padahal tidak ada yang mengasihani. Merasa diri memiliki perspektif yang benar, padahal tidak ada yang menyalahkan.

    Pikiran itu memumpuk rasa tidak percaya yang berlebih, bahkan saat orang lain berniat baik pun disangka ada kepentingan. Yang kemudian terjadi adalah kesulitan-kesulitan yang dihadapi untuk menjalani relasi di berbagai bentuk. Padahal relasi ini mungkin tidak menetap dan akan terus berkembang. Sebagaimana kata bijak yang mengatakan : siap fase ada temennya, setiap teman ada fasenya.

    Tentu hal yang paling di rekomendasikan untuk mengatasi hal itu adalah minta bantuan ke layanan kesehatan mental yang profesional Akan tetapi, fokusku bukan itu kemarin saat melakukan riset, tapi berusaha untuk menyelami cara berpikir dan cara pandang yang demikian. Cara pandang yang terasa sangat menyakiti diri, hanya saja hal-hal seperti ini memang tidak mudah untuk seketika meniadakannya.

    Akan menjadi semakin besar layaknya bara api yang disiram minyak, kalau tipikal orang yang serupa bertemu, saat asumsi-asumsi itu divalidasi. Semakin bias antara khayalan dan kenyataan. Berat menjalani hidup yang demikian. Rasanya dulu waktu membaca lembar demi lembar cerita yang masuk, aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjalaninya.

  • One On One


  • Diskusi secara personal dengan orang lain di dua bulan terakhir sangat intens, banyak sekali hal-hal baru yang kutemukan, banyak sekali untold stories yang berkelindan. Hidup manusia ini benar-benar seperti perpustakaan hikmah, kita bisa belajar satu sama lain atas cerita hidup yang dilalui seseorang - tanpa harus melaluinya.

    Hal yang paling banyak menjadi topik diskusi adalah soal tujuan hidup dan bagaimana caranya bisa menjalani hidup ini dengan bahagia, sebenarnya memang definisi bahagia itu sendiri sangat personal. Tapi, semua sepakat bahwa perasaan bahagia itu adalah perasaan yang bisa dirasakan tidak hanya oleh diri sendiri tapi juga orang lain.

    Banyak sekali ketakutan-ketakutan yang menghalangi mimpi, apalagi di usia 30. Mau 30 atau 30 awal. Saat pekerjaan pertama sudah berjalan sekian tahun, mulai masuk ke fase berkeluarga, mulai banyak peran dan tanggungjawab, dan mulai merasa jenuh dengan kehidupan yang berputar.

    Sungguh, tidak semua orang memiliki privilige di umur 30an untuk membuat keputusan-keputusan yang extrem, apalagi saat sudah memiliki keluarga. Saat keputusannya akan berdampak pada pasangan dan anak. Tidak semudah itu resign pekerjaan dan kemudian melakukan perjalanan keliling dunia. Tidak semudah itu mau ganti bidang pekerjaan. Tidak semudah itu menemukan pasangan dan ke pernikahan. Tapi, tidak semudah itu juga menjalani keadaan yang seadanya sekarang.

    Dalam beberapa kesempatan, sebenarnya diri pun tahu apa yang seharusnya dilakukan, tapi tidak ada keberanian itu. Semahal itu keberanian di umur 30an ternyata. Tidak semua keluarga memahami bahwa hidup itu mungkin tidak linier jalannya. Tidak semua pasangan itu memahami bahwa pasangannya juga butuh dikuatkan untuk mencoba hal-hal baru dalam hidupnya yang mungkin saat percobaan itu dilakukan, kamu harus ikut menanggung ketakutan atas risikonya. Tidak semua memiliki support system yang kuat untuk membuat diri percaya bahwa hidup ini tidak selayaknya berjalan seperti badan tanpa ruh. Kehilangan kebahagiaan dan tujuan.

    Mungkin kita semua akan sampai ke titik itu, titik yang membuat kita mempertanyakan jalan hidup kita sendiri. Apakah yang sebenarnya aku tuju? Apa aku bahagia dengan yang aku jalani sekarang?

  • 34 Tahun

  • Hi semuanya, mungkin ada di antara teman-teman di sini yang telah mengikuti akun ini sejak tahun 2014? Artinya itu sudah 10 tahun yang lalu dan 10 tahun yang lalu, tepat di bulan Januari 2014 saya baru menyelesaikan sidang tugas akhir di ITB saat itu. Kemudian mengerjakan revisi dan akhirnya wisuda di bulan Mei nanti. Di tahun 2014 juga lahir buku pertamaku, Hujan Matahari. Buku yang menjadi penanda titik balik hidup dan jalan pintu gerbang keluar dari Quarter Life Crisis. Hehe…

    image

    Tahun itu, umurku masih 23 tahun - mau 24 ditahun 2014 akhir. Bagaimana rasanya melewati 10 tahun dari masa itu ke sekarang, nah ini yang ingin kucatat dalam tulisan panjang kali ini. Barangkali, ada teman-teman baru di sini yang baru mengikuti akun ini beberapa waktu lalu, sementara akun ini telah aktif sejak 2010 (14 tahun lalu!). Barangkali juga, saat 2014 lalu beberapa teman-teman di sini yang baru mengikuti halaman ini, mungkin masih SD, SMP, atau SMA mungkin? Sehingga dinamika di tahun yang sama saat itu, tahun2014, antara kita berbedanya luar biasa. Dinamika mahasiswa yang baru lulus kuliah dan dinamika anak SD/SMP/SMA.

    Tapi sekarang, di tahun 2024 ini, saat usiamu mungkin seusiaku pada saat itu. Jarak usia kita yang 10 tahun mungkin tidak begitu terasa, apalagi jika bertemu langsung. Kamu sudah cukup dewasa bahkan untuk memulai berumah tangga, dan seharusnya sudah cukup matang untuk menghadapi beragam dinamika kehidupan dewasa.

    Pertama, jangan pernah takut buat memiliki mimpi. Sekalipun hanya kamu yang memiliki mimpi itu sendirian diantara keluargamu atau teman-temanmu. Nanti seiring berjalan waktu, saat tanggungjawab bertambah dan mungkin membuatmu semakin realistis, kamu akan berhitung dengan mimpimu sendiri. Justru pada saat ini, saat masih besar energinya - beranikan diri untuk mengejarnya.

    Kedua, setahun-dua tahun atau bahkan beberapa tahun yang kamu perlukan untuk mengenal dirimu sendiri, ambilah! Karena setahun-dua tahun itu tidak akan ada artinya sama sekali dibandingkan dengan puluhan tahun berikutnya yang akan kamu jalani dengan badan dan pikiranmu sendiri.

    • Kalau kamu ingin pekerjaan A dan itu mentuntutmu untuk belajar 2 tahun lagi, ambil!
    • Kalau kamu ingin memperbaiki diri - berjuang- apapun itu untuk mendapatkan pasangan hidup yang paling ideal menurutmu dan itu membutuhkan beberapa tahun ke depan, ambil!
    • Kalau kamu ingin membangun usahamu dan itu butuh waktu beberapa tahun untuk sampai ke titik idealnya, ambil!
    • Kalau kamu perlu beberapa tahun untuk membujuk orang tuamu agar merestui jalan hidup yang sedang kamu perjuangkan demi memperbaiki pola kehidupan keluarga kecilmu nanti, ambil!

    Jangan takut untuk mengorbankan beberapa tahunmu untuk puluhan tahun berikutnya. Apalagi kalau kamu tahu itu sangat berharga. Anggap aja kamu seperti lagi ngambil gap year, lulus SMA - jeda dulu untuk mempersiapkan diri lagi demi mendapatkan bidang/jurusan kuliah yang benar-benar sesuai keinginanmu.

    Ketiga, jangan takut untuk jatuh cinta tapi bersikaplah dewasa. Kalau kamu suka sama seseorang,

    Kalau kamu laki-laki - maka lihat keadaan dirimu apakah sudah cukup mampu untuk bertanggungjawab pada kehidupan lain, kalau masih ngandelin duit orang tua, lupakan! Kalau ngaji aja gak bisa, belajar dulu! Kalau masih belum bisa ngatur skala prioritas diri, lupakan! Pesanku, kalau sudah yakin siap - yakin matang emosinya dan pikirannya - berani menjadi imam yang baik, kalau suka sama seseorang, sampaikan langsung aja, kalau diterima ya dinikahi, kalau ditolak - cari yang lain, tidak perlu diperjuangkan berkali-kali. Kalimat terakhir barusan memang sangat subjektif, tapi based on experience, xixixii…. Apalagi kalau yang nolak orang tuanya, dah lupakan aja, segera move on!

    Kalau kamu perempuan (ditambah sekarang saya udah punya 2 anak perempuan, heuheu…). Memiliki perasaan kepada lawan jenis itu wajar sekali, tapi terbukalah dan diskusikanlah dengan orang yang cukup matang pikirannya menurutmu, bisa orang tua, guru, mentor, siapapun yang menurutmu - pendapatnya bisa menjadi dasar dari keputusan-keputusan baikmu. Sebab, salah satu tantangannya di sini adalah dominasi perasaan, sehingga ketika perasaan itu muncul, logikanya agak eror. Padahal, di momen seperti itu sangat dibutuhkan pikiran yang jernih dan terang benderang. Agar jangan sampai mengorbankan hal-hal yang fundamental dan esensial dalam hidupmu. Apalagi sampai terjebak dalam toxic relationship, dsb. Belajarlah untuk memiliki sikap yang teguh, kuat, dan yakin. Fokus aja sama impianmu, nanti pasti ada orang yang sejalan di impian itu.(Ini agaknya nasihatku buat anak-anakku nanti).

    Keempat. Bekerja karena uang, di awal, itu nggak apa-apa, apalagi kalau memang ada tuntutan finansial misal membiayai adik-keluarga, dsb. Namun, tetaplah cari sebanyak-banyaknya pengalaman. Jika ada kesempatan, jangan langsung mengkonversi kesempatan tersebut dengan uang. Lihat lebih teliti, benefit apa yang bisa kamu dapatkan dengan kesempatan itu, apa yang bisa kamu pelajari, jaringan apa yang bisa kamu dapatkan, dan sebagainya. Kalau pun orang lain menilaimu - gampang dimanfaatin orang - eits, tunggu dulu dan jangan langsung menelan itu mentah-mentah ya. Lihat lagi, lebih cermat, seberapa besar manfaat yang kamu bisa dapatkan dari kesempatan. Dan kamu perlu tahu dan menyadari, kenapa kesempatan belajar itu hadir ke kamu, bukan ke orang lain?

    Kelima. WAJIB BANGET PUNYA MENTOR! Kalau belum ada, cari sampai ketemu - sampai dapat. Orang yang bisa kamu jadikan sebagai guru-penasihat untuk bertanya dan bertukar pikiran. Cari untuk mengisi ruang kosong dan gap yang kamu miliki. Tahukah gap nya apa? Kebijaksanaan dan pengalaman!

    Anak muda itu penuh semangat, minim pengalaman. Orang tua itu, energinya udah abis, tapi pengalamannya sangat kaya. Nah, ambil kebijaksanaan dan pengalaman itu. Dari orang-orang yang lebih senior, lebih berilmu. Cari mentor di pekerjaanmu, di kehidupan spiritualmu, di soal asmaramu, apapun. Itu benar-benar akan membantumu melewati fase krisis dengan lebih efektif. Membantumu mengurai benang kusut di pikiran, membantumu melihat jauh ke depan terhadap masalah yang sedang kamu hadapi. Bahkan, sesekali membantumu membuat keputusan saat logikamu lagi super eror karena jatuh cinta.

    Keenam, ketujuh, ke seterusnya mungkin lain kali kuteruskan. Hehe.. punten XD. Tapi mungkin teman-teman di sini, yang mungkin sudah umur 30an dan mau berbagi pelajaran-pelajaran berharganya, boleh banget lengkapi di fitur komentar ya. Akan senang sekali jika tulisan ini menjadi ruang refleksi bersama-sama.

    Salam hangat,
    Kurniawan Gunadi

  • &. zinnia theme by seyche